Hai Tuan,

tanpa kau sadari bara yang kau tiup telah menjadi api,

tapi kau tak perlu resah,

apinya takkan kubiarkan membakar apapun,

sebelum menggelora akan kupadamkan dengan tangan.

Hai Tuan,

kau tak perlu resah,

aku sudah terbiasa memadamkan api,

tapi kau perlu tahu,

api itu akan sempat menghanguskan,

dan bekas hitamnya tak akan pernah hilang.

“Mi, katanya abdi dalem itu bayarnya sedikit, sama uang jajan adek aja banyakan uang jajan adek, emang iya Mi?”
“Iya, adek tau dari mana?”
“Alya yang bilang, katanya cuma lima ribu gitu, kok mereka mau ya, Mi?”
“Namanya aja abdi dalem, ya mereka mengabdi”
“Kok mau ya Mi?”
“Karena itu tugas mulia dek”

Percakapan yang kucuri dengar seorang gadis kecil berkisaran 6 tahun kepada ibunya itu membuatku spontan berpikir. Ah, pengabdian. Di tengah-tengah era yang konon katanya apa-apanya bisa dibeli degan uang ini, masih ada saja yang berlaku dengan hati, berlaku dengan tanpa pamrih, berlaku bukan semata-mata untuk materi, berlaku bukan untuk uang.

Di sebuah linimasa miniblog saya pernah mendapati sebuah komik yang berkisah tentang seorang Buddhisme Zen, Allan Watts, yang bertanya kepada murid-muridnya, “bagaimana jika uang bukanlah tujuan utama?” Digambarkan bahwa ketika sebagian besar hidup manusia hanya untuk mengejar uang maka manusia akan kehilangan sisi manusiannya.

Kemudian saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah uang adalah tujuan saya? Realistisnya, saya memang memerlukan uang, tapi lebih realistisnya lagi, saya lebih memerlukan sisi manusia saya.
Bahagia bagi saya adalah ketika saya membaca buku, ketika saya merasa damai, ketika saya melihat orang lain bahagia, dan ketika saya bisa berbuat bermanfaat kepada orang lain. Bukan karena saya selalu hidup di atas dan selalu berkecukupan maka saya tidak perlu menjadikan uang sebagai yang saya kejar. Karena saya pun butuh; jika saya tidak mempunyai cukup uang, buku pun tidak terbeli, pakaian tidak nyaman dan kebutuhan pangan tidak terpenuhi juga akan menjadikan saya tidak nyaman, dan uang-pun bisa menjadikan bermanfaat kepada orang lain.
Lantas layaknya manusia yang tidak pernah puas dengan jawaban, saya bertanya lagi, mengapa saya sempat berpikiran bahwa uang adalah hal krusial yang dikejar banyak orang? Mengapa uang dijadikan tujuan?
“Ah, pertanyaan apa lagi ini. Sudahlah, uang juga tujuan, tapi jangan dipaksakan,” begitu jawaban saya yang tidak mau mengambil pusing sekaligus mengakhiri kontemplasi ini.

Heran. Tidak jauh dari pandangan saya adalah pelataran dimana entah ratusan atau ribuan orang berebut berkah Gunungan Grebeg Maulud, dimana yang mereka perebutkan adalah sesuatu yang tergolong kata benda. Lagipula keberangkatan saya juga hanya karena ingin memuaskan rasa penasaran bukan untuk ikut berebutan, maka saya tidak menjejalkan diri menjadi bagiannya. Lalu saya berjalan, sampai di sebuah masjid yang tidak jauh dari Alun-Alun Kidul, tepatnya di bagian barat Alun-Alun Kidul. Kemudian saya memutuskan untuk istirahat sejenak; duduk dan membaca novel sembari menunggu waktu sholat.
Beberapa waktu kemudian datang serombongan keluarga yang menaiki becak; lebih tepatnya lagi si bapak mengayuh becak, dengan ibu yang memangku seorang anak putra sekitar 3 tahunan, dan seorang anak putri sekitar 5 tahunan yang tertidur duduk di sebelahnya. Ibu itu kemudian menggelar tikar dan menidurkan anak lanangnya di sebelah saya, sementara anak putrinya ia biarkan tertidur di becak. Ibu itu sadar jika saya mengamatinya sedari tadi kemudian ia mengajak saya berbincang. Saya pun bertanya ibu itu berasal dari mana dan ada keperluan apa sampai ia boyong keluarganya. Dan tepat dugaan saya, konon ibu itu jauh-jauh memboyong keluarga dari Desa Brosot Kulon Progo sana untuk mencari berkah Gunungan Grebeg.
Kula angsal niki mbak, kesele mlaku saling Brosot mboten wonten menapa-menapane, muga-muga mberkahi“, katanya sembari menunjukkan 1 wortel dan 2 untai kacang panjang yang ia dapat.

Mendengar ucapan ibu tadi, saya seperti mendapati jawaban.
Lelah perjalanan panjang yang ibu itu dan keluarganya lalui dari Brosot dengan becak tadi memang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hasil yang ia dapat, belum lagi dengan peluh dan perjuangan selama berada dijejalan orang yang juga berebutan. Namun dari raut wajah yang berbinar dan antusiasme ceritanya, rasa bahagia telah menutupi lelahnya. Ia bersyukur, dan ia bahagia.
Bukan, ia bukan mencari materi, bukan mencari ‘kata benda’ yang akan membayar peluh perjuangannya.
Ia mencari apa yang ia yakini akan memberkahi ia dan keluarganya.
Ia mencari berkah.

Ini adalah sebuah katarsis; yang saya ciptakan secara sadar, untuk dijadikan penghantar rindu akan subyektivitas, penampung hambur-hamburan pemikiran yang kerap kali tanpa landasan. Sebuah ruang untuk berbicara tanpa perlu meminjam mulut orang lain.